Renungan Pagi : Jika Kami Boleh Mengeluh
Saat pagi sebelum keduluan mathari, kaki berjalan menelusuri lereng gunung Ciremai yang indah permai. Fajar menyingsing begitu eloknya mebelah langit sebelah timur, mmm alangkah menakjubkannya ciptaan-Mu. Jalan berkelok, berujung pada sebuah jembatan dimana dibawahnya mengalir sungai yang jernih airnya, mengalir gemercik membawa kedamaian. Namun kenapa sepagi itu sudah ada mayat yang masih hangat dibuang disitu, darah segar mengalir bersama jernihnya air pegunungan, begitu tega, kenapa?
Sementara di sebuah kampus belajar banyak mahasiswa dengan tekunnya, menghafal al-Qur’an, menghafal bahasa Arab, menekuni Tauhid. Di sebuah lorong nampak sesosok gadis anggun berjalan dengan tangannya menyibak-nyibak sebuah buku yang berjudul “laa takhaf wa la tahzan.” Sementara di lorong lain nampak sekelompok muda-mudi sedang asyik memainkan laptop,bermodalkan wifi gratisan dari kampus berusaha mendownload buku-buku gratis terbitan Beirut Dzu Liban. Namun kenapa ditengah damianya suasana itu tiba-tiba dikejutkan sebuah kabar meninggalnya salah satu dari mereka yang diperkosa bergantian, lalu dibunuh, begitu tega, kenapa?
Di malam itu, tepatnya malam minggu, Monas begitu ramai. Di sebuah kelompok nampak beberpa pemuda memainkan sepeda, dengan lincahnya bersalto, free style dan tentunya sangat menghibur, sementara banyak penonton yang bertepuk tangan puas melihat atraksi ini. Di sudut lain puluhan bikers sedang asik ngobrol bertukar pegalaman, begitu akrab, begitu solid. Sementara itu serombongan bapak-bapak beserta keluarganya sedan asyik bermain dengan anak-anaknya, mmm memainkan sebuah lampu bila dilempar ke atas maka akan turun pelan berputar dan mengeluarkan cahaya yang begitu memukau buat anak-anak. Namun entah kenapa tiba-tiba ada semboyan “Don’t make us angry”, kemudian muncul pula sebuah pita berwarna kuning, dan hasilnya bendera kuningpun terpaksa berkibar di beberapa rumah, begitu tega, kenapa?
Oh Tuhan, andai kami boleh mengeluh tentu sudah kami tuliskan keluhan itu hingga air laut kering dijadikan tinta. Meski asa kami segunung, cita-cita kami selagit, ambisi kami seluas lautan yang biru, ilmu kami sanggup menggapai matahari, tapi kami sadar kami hanya wayang yang siap menerima alur cerita sang dalang. Kami punya daya, kami punya upaya, begitu juga kami punya prakarsa, tapi tetap akhirnya kami harus rela menerima apapun andai Engkau berkehendak lain. Kami bangun rumah sakit besar untuk menunda kematian yang tak tentu datangnya kapan, kami bangun penjara sebanyak penjahat yang ada di muka bumi ini untuk melawan khendak syetan yang terkutuk. Mmm tetap saja itu hanya usaha yan hasilnya terserah pada-Mu. Berat hati ini untuk menerima itu ya Tuhan.
Kami sadar banyak hal yang terjadi akibat ulah kami sendiri, terbunuh oleh kawan kami,tersakiti oleh kawan kami, dan ternodai juga oleh saudara kami. Maafkan kami Tuhan, bisakah kedamaian itu datang tak harus malampaui kematian, tak harus mlewati perhitungan, sebentar saja ya Tuhan, di dunia ini, tunjukkan sifat Rahman-Mu!
Kuliah subuh
Mantaaapppp……
By the way tumben tulisannya kok gak ada salahnya mbah bons 😀
hahahha
Bangun tidur langsung nyari hp nd langsung buka bookmark. .
Absen dulu pak de. .
😀
2 fenomena yg mash hangat. .
Ga bisa komen apa pun, tulisan nya mendekat sempurna. .
Seep mantep pak de. .
😀
only guratan kamar mandi gan
mantap
betul banget pak bons
oceh
jusgindus
yuup
sip
speechless pak bons,
sesuai realita kita
http://nanared.wordpress.com/2012/05/01/jaringan-terluas-saya-percayaterlengkap-think-again/
menungso mung sak dermo nglakoni mbah. . .
jamane jaman edan , ora melu edan malah ora keduman.
sebuah pepatah gemblung yang kalau dicermati malah dijalankan oleh sebagian orang yang katanya penggede negeri ini
keep brotherhood,
salam,
iya mas bro
sip tenan
http://pertamax7.wordpress.com/2012/05/02/racun-baru-buat-megison
matur nuwun pakde… pas banget nih dengan situasi mood ane yg lagi struggle dengan berbagai ‘unfairness’ nyangkul di negri orang…
ane setuju bhw bukan manusia yg ngatur nasib..